Kilas Balik Sejarah Interaksi Papua dan Negara-negara Eropa dalam Perburuan Cenderawasih

Bulu burung cenderawasih telah menjadi hiasan pada topi kaum bangsawan Eropa pada awal abad 20 (sumber: Kirch, 2006)

Siapa yang tidak kenal dengan burung cenderawasih? Sudah pasti burung ini dikenal identik dengan pulau paling timur Indonesia, yaitu Pulau Papua. Cenderawasih adalah satwa endemik Indonesia Timur, khususnya di Pulau Papua dan Maluku. Burung ini merupakan famili Paradisaeidae yang terdiri dari 42 species.
Dari 42 spesies yang tersebar di dunia, 36 di antaranya hidup di Pulau New Guinea (Papua dan PNG), Maluku; terutama kepulauan Aru, dan Australia (Beehler, 1989).

Terkhusus di Papua-Indonesia, terdapat 28 jenis cenderawasih. Meskipun begitu, jauh sebelum masyarakat Indonesia secara umum mengenal adanya burung surga ini, nun jauh di Eropa, justru keindahan bulu burung ini sudah terkenal di kalangan bangsawan. Mereka menggunakannya untuk menghiasi perhiasan dan topi-topi kaumnya.

Read More
iklan

Literatur tertua yang pertama kali memunculkan gambar burung cenderawasih adalah pada buku “The Famese Hours” yang merupakan buku doa di Spanyol pada tahun 1522. Pada bulan September 1522, Kapal Victoria (kapal Kerajaan Spanyol) telah menyelesaikan pelayaran panjangnya mengelilingi dunia selama tiga (3) tahun.

Setelah kembali ke Spanyol, ternyata kapal ini juga membawa burung-burung cenderawasih yang sudah mati (diawetkan) tanpa kaki dan sayap. Burung ini sangat cantik sehingga dipersembahkan kepada Raja Spanyol. Kru kapal Victoria mencatat bahwa burung ini diberikan oleh Sultan Bacan dari Kepulauan Tidore-Maluku (tujuan jalur rempah Spanyol).

Menariknya, dari literatur tua ini, dapat ditemukan bahwa penggunaan kata “paradise” pada nama “birds of paradise” dipakai karena orang-orang Eropa yang diberikan burung ini tidak pernah melihat burung ini terbang; hanya diberikan ketika sudah mati dan diawetkan.

Sehingga mereka menyampaikan kepada kerajaan di Spanyol bahwa burung cenderawasih ini tidak mempunyai sayap, tidak pernah terbang dan hanya terbang ketika ditiup oleh angin (Laman & Scholes, 2012). “They have no wings, but instead of them long deathers of different colors, like plumes…… They never fly, except when the wind blows, the people told us that those birds come from the terrestrial paradise, and they called them bolon diuata, that is to say, Birds of God”.
Sumber: The Famese Hours dalam Buku “Birds of Paradise” Tim Laman & Ed Scholes 2012.

Meskipun publikasi terkait burung cenderawasih sudah ada sejak tahun 1500an di Eropa, tingginya permintaan akan bulu cenderawasih terjadi pada dua dekade pertama Abad ke-20. Pada periode ini, topi yang dihiasi bulu burung merupakan gaya/style yang terkenal di antara kaum kosmopolitan Eropa dan Amerika.

Salah satu bulu burung yang sangat diidamkan adalah burung cenderawasih dari Pulau Papua dan Maluku. Pada tahun 1905 hingga 1920, tercatat sebanyak 30.000-80.000 burung cenderawasih diekspor pada pelelangan bulu burung di London, Paris, dan Amsterdam. Tingginya permintaan bulu cenderawasih menyebabkan pemburu dari Malay, Cina, dan Australia mencari burung cenderawasih ini (Kirch, 2006).

Lalu, bagaimana catatan sejarah terkait perjual-belian burung cenderawasih dari Papua ini? Ada beberapa catatan penting yang dapat ditemukan dalam buku-buku karya antropolog seperti Karl Muller, Stuart Kirsch, J.W. Schoorl, dan Margaretha Pangau-Adam et all.

Publikasi para peneliti ini menunjukkan bahwa daerah utama perburuan cenderawasih ialah di Nimboran (saat ini Nimbokrang) di Kabupaten Jayapura, dan wilayah Papua Selatan yaitu daerah Kabupaten Boven Digul (di antara Ok Tedi dan Fly River).

Daerah pedalaman Nimboran (Nimbokrang), di sebelah barat Danau Sentani, menjadi daerah yang pertama kali mengalami kontak dengan para pemburu burung Cenderawasih pada akhir tahun 1890an (Muller, 2011). Burung Cenderawasih biasanya diburu dengan menggunakan ketapel atau senapan angina (Pangau-Adam & Noske, 2010).

Selain itu, metode pemburuan yang sering digunakan adalah menunggu hingga burung ini hinggap pada pohon tempat bermain atau tempat mencari minum di dekat tanah (Bulmer, 1968).

Interaksi intensif antara masyarakat suku Muyu dengan kaum pendatang juga disebabkan oleh perjual-belian burung cenderawasih yang terjadi pada tahun 1914-1926. Burung ini diburu dan dijual dari suku asli kepada pedagang Indonesia dan Cina.

Sebagai barter, burung cenderawasih ditukarkan dengan barang-barang dari luar seperti pisau dan kapak. Anak-anak muda suku asli seringkali turun langsung bersama para pemburu untuk mencari burung cenderawasih. Hal inilah yang menjadi pintu utama nilai-nilai Barat mulai dikenalkan kepada masyarakat Muyu (Schoorl, 1970).

Selain suku Muyu, Stuart Kirch dalam tulisannya “History and The Birds of Paradise” menuliskan bahwa suku Yonggom juga berinteraksi dengan bangsa Eropa pada tahun 1873 dalam perdagangan burung Cenderawasih jenis Paradisaea Apoda (cenderawasih kuning besar).

Suku Yonggom berada di antara Ok Tedi dan sungai suku Muyu. Daerah ini memiliki sebaran Cenderawasih Kuning Besar yang banyak sehingga pada periode “Plume Boom” (ledakan bulu), sebuah istilah untuk periode fashion bulu burung di Eropa, spesies cenderawasih ini pula yang banyak dikirim ke sana (Eropa).

Sebagai alat tukarnya, para pemburu dan pembeli cenderawasih memberikan alat-alat seperti pisau dan kapak yang dinilai tinggi oleh Suku Yonggom karena mengurangi tenaga mereka saat harus menebang pohon.

Sementara itu, para pemburu juga berjualan tembakau dan manik-manik porselen putih untuk bisa mendapatkan makanan selama berburu. Burung cenderawasih ini diburu pada bulan April-September saat musim kawin tiba (Kirch, 2006).

Kisah perburuan cenderawasih seperti yang ditemukan dari literatur-literatur di atas menjadi saksi sejarah bahwa manusia memegang peranan penting untuk melindungi dan menjaga hutan Papua agar turut melestarikan burung cenderawasih. Mari kita jaga bersama hutan Papua agar anak cucu kita masih bisa melihat burung Cenderawasih ini.

Referensi
Beehler, B. M. (1989). The Birds of Paradise. 261(6), 116–123. https://doi.org/10.2307/24987520
Bulmer, R. (1968). The Strategies of Hunting in New Guinea. In Source: Oceania (Vol. 38, Issue 4).
Kirch, S. (2006). HISTORY AND THE BIRDS OF PARADISE: Surprising Connection from New Guinea. www.museum.upenn.edu/expedition15
Laman, T., & Scholes, E. (2012). Birds of Paradise. National Geographic Society .
Muller, K. (2011). Pesisir Utara Papua.
Pangau-Adam, M., & Noske, R. A. (2010). Wildlife Assessment and Traditional Ecological Knowledge (TEK) in Indonesian New Guinea (Papua and Papua Barat) View project Seasonal movements of birds in SE Queensland View project. https://www.researchgate.net/publication/244994960
Schoorl, J. W. (1970). NEW GUINEA RESEARCH. The New Guinea Research Unit, The Australian National University .
WWF Indonesia. (2023). Species Cenderawasih .

(*Floranesia Lantang)
*Penulis adalah Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pelita Harapan.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *