Bayangkan sebuah bukit tandus, gersang, hanya dihiasi oleh ilalang yang menari-nari tertiup angin. Itulah Bukit Alang-Alang di Papua, sebuah lanskap yang seolah tak pernah mengenal hijau. Namun, di balik gersangnya, tersimpan sebuah harapan baru. Sebuah upaya gigih untuk merubah wajah bukit itu, mengubahnya menjadi paru-paru hijau yang menyegarkan.
Secara administrasi pemerintahan, perbukitan Alang Alang bagian dari empat kampung yakni Nambom, Mamda, Mamei dan Kwansu dengan luas 594,56 hektar. Selain itu, Alang Alang juga termasuk dalam kawasan Cagar Alam Cycloop.
Yosafat Merabano
Menurut Yosafat Merabano, kepala suku Mamda, bukit ini dulunya adalah kampung tua suku Wakudia, sebuah suku yang kini telah punah. Bagi masyarakat Mamda, Bukit Alang-Alang adalah tanah leluhur yang sakral.
“Suku Wakudia pernah hidup damai di sini,” tutur Merabano. “Mereka hidup berdampingan dengan alam, menghormati setiap pohon dan sungai.” Namun, seiring berjalannya waktu, suku Wakudia menghilang, meninggalkan jejak sejarah yang memudar.
Meskipun telah lama ditinggalkan, semangat penghormatan terhadap leluhur tetap hidup di hati masyarakat Mamda. Mereka percaya bahwa Bukit Alang-Alang adalah tempat yang istimewa, tempat roh-roh leluhur mereka bersemayam. Oleh karena itu, proyek penghijauan di sini tidak hanya sekadar menanam pohon, tetapi juga sebuah bentuk penghormatan kepada leluhur.
Alang-Alang, dengan tanahnya yang tandus dan iklimnya yang keras, bukanlah tempat yang ramah bagi tumbuh-tumbuhan. Namun, semangat untuk mengubah lanskap ini menjadi lebih baik terus menyala. PT Freeport Indonesia, bersama dengan masyarakat lokal dan pemerintah, memulai sebuah proyek ambisius: menghidupkan kembali Bukit Alang-Alang.
Sejak dua tahun lalu, Freeport bersama mitranya, PT. Sarbi Moerhani Lestari, menanam aneka jenis pohon, mulai dari cemara gunung, lamtoro, jabon, kemiri, matoa, genemo, petai, linggoa, merbau, masohi hingga pinang di lahan seluas 543 hektar dari total 594,56 hektar. Bagian yang dilewatkan itu oleh pemilik hak ulayat tidak mendapat izin untuk ditanami.
Bibit-bibit pohon tadi ditanam dengan jarak tiga meter, ditancapi ajer sebagai penanda. Menyokong pertumbuhan awal, setiap lubang tanam dipasangi pupuk kandang yang dicetak melingkar, berdiameter sekira 20 cm. Selain pupuk kandang, bibit juga didoping dengan NPK 0,7. Sementara, sebagai pengganti air dan menjaga kelembapan tanah, setiap bibit disisipi hydrogel. Hydrogel-hydorgel ini akan diganti setahun sekali.
Untuk memastikan keberlanjutan proyek ini, tim proyek telah mengembangkan sistem informasi geografis (SIG) yang terintegrasi. SIG ini digunakan untuk mengelola data terkait kondisi tanah, iklim, jenis tanaman, dan pertumbuhan tanaman. Dengan SIG, tim proyek dapat memprediksi potensi masalah yang mungkin timbul dan mengambil tindakan pencegahan secara proaktif. Selain itu, SIG juga dapat digunakan untuk merencanakan kegiatan penanaman di masa mendatang.
Dengan menggabungkan upaya manusia dan teknologi, proyek penghijauan di Bukit Alang-Alang telah menjadi contoh nyata bagaimana kita dapat membangun masa depan yang lebih berkelanjutan. Melalui pemantauan yang cermat dan inovasi yang terus menerus, kita dapat memastikan bahwa hutan baru ini akan terus tumbuh dan berkembang, memberikan manfaat bagi generasi mendatang.
Kru Fokus Papua menemui salah satu pekerja di Alang Alang, Daud Wally. Daud bersama timnya sejumlah 15 orang dipercayakan menggarap lahan seluas 28,18 hektar. Daud yang memegang posisi sebagai mandor untuk rekan-rekannya yang seluruhnya berasal dari kampung sekitar lokasi.
“Dari penanaman hingga pemasangan ajer kami dapat 116 juta rupiah. Bibitnya ditanggung perusahaan,” tutur pria asal Nambon ini.
“Secara aturan, perusahaan tambang, dalam hal ini Freeport, dapat melakukan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Kami menggunakan kawasan hutan, maka kami punya kewajiban untuk melakukan rehabilitasi kawasan yang luasnya sama (wilayah operasional-red) ditambah sepuluh persen,” ungkap Vice President Enviromental PT Freeport Indonesia Gesang Setyadi saat ditemui Fokus Papua awal November ini di Jayapura.
Bukan perkara mudah bagi Freeport untuk mencari lahan untuk memenuhi kewajiban itu. Kata Gesang, di Mimika mereka telah punya program serupa, namun tidak mencukupi dari yang seharusnya, yaitu 4.232 hektar.
Atas rekomendasi dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS Mamberamo) dan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), perusahaan mengadakan kegiatan itu di Kota dan Kabupaten Jayapura.
Menarik bahwa proyek yang disebut rehabilitasi daerah aliran sungai ini dirancang untuk melibatkan partisipasi masyarakat lokal, mulai dari penyediaan bibit, penanaman, hingga pemeliharaan. Freeport berharap, dalam jangka waktu tiga tahun, program ini sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Itu pula alasan mengapa 40 persen dari bibit merupakan tanaman buah.
“Awalnya cuma 25 persen (tanaman buah-red), tapi atas kesepakatan bersama, kita naikkan jadi 40 persen,” kata Gesang.
Dendy Sofyandi, Project Coordinator Rehabilitas DAS PT Freeport Indonesia, menjelaskan bahwa program penghijauan Bukit Alang-Alang memiliki pendekatan yang unik dan terstruktur. Program ini terbagi menjadi tiga fase: penanaman, pemeliharaan tahun pertama, dan pemeliharaan tahun kedua, jelasnya. Yang membedakan program ini adalah keterlibatan langsung Freeport dalam setiap tahap, memastikan bahwa hutan yang telah dipulihkan dapat dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat.
Keberhasilan proyek ini tidak lepas dari kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak. Masyarakat lokal, yang selama ini hidup berdampingan dengan bukit ini, menjadi ujung tombak dalam pelaksanaannya. Mereka tidak hanya menjadi pekerja, tetapi juga pemilik dari proyek ini. Dengan melibatkan masyarakat, proyek ini tidak hanya sekadar menanam pohon, tetapi juga memberdayakan masyarakat.
Pemerintah daerah juga memberikan dukungan penuh terhadap proyek ini. Mereka melihat proyek ini sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan lingkungan. Sementara itu, PT Freeport Indonesia, sebagai perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial, berperan sebagai katalisator dalam mewujudkan mimpi hijau ini.
Proyek penghijauan di Bukit Alang-Alang bukan hanya tentang menanam pohon. Ini adalah tentang membangun masa depan yang lebih baik. Hutan baru yang tumbuh di sini akan menjadi paru-paru bagi Papua, menyerap karbon dan menghasilkan oksigen. Hutan ini juga akan menjadi habitat bagi berbagai satwa liar, serta sumber mata pencaharian bagi masyarakat sekitar. (*)