Bukit Alang Alang. Entah sejak kapan dinamai demikian. Bisa jadi penamaannya memang disesuaikan dengan kondisinya, karena padang stepa yang berada di dataran tinggi Kemtuk, Kabupaten Jayapura tersebut seakan ditakdirkan untuk jadi rumah bagi alang-alang dan jenis rumput liar lainnya. Sejauh mata memandang hanya ada rumput dan ilalang. Kontras, areal pinggiran bukit ini justru dikelilingi oleh hutan lebat.
Barangkali saja, tekstur tanahnya yang keras, agak berbatu, menyulitkan tanaman selain rumput dapat tumbuh di sini. Di musim kering, kebakaran kerap melanda bukit. Ada yang disebabkan tangan-tangan jahil, sebagian lagi tidak jelas musababnya.
Secara administrasi pemerintahan, perbukitan Alang Alang bagian dari empat kampung yakni Nambom, Mamda, Mamei dan Kwansu dengan luas 594,56 hektar. Selain itu, Alang Alang juga termasuk dalam kawasan Cagar Alam Cykloop. Dari cerita kepala suku Mamda, Yosafat Merabano, kawasan tersebut merupakan bekas kampung tua milik suku Wakudia (versi lain: Wakuja), dan sekarang satu kesatuan dengan hak ulayat masyarakat kampung Mamda.
Kepada kru Fokus Papua, akhir Oktober lalu, Merabano menyebut, suku Wakudia yang mendiami tempat itu telah punah. Sehingga, bagi masyarakat adat Mamda, kawasan ini kemudian disakralkan. Masih kata Merabano, bukit Alang Alang pernah diproyeksikan sebagai lokasi bandar udara, sebelum akhirnya dialihkan ke Sentani Kota yang kemudian sekarang dikenal sebagai Bandar Udara Theis Eluay.
Nama bukit Alang Alang boleh saja abadi, tapi di masa mendatang tak lagi identik dengan rerumputan liar karena telah menjadi kawasan hutan dengan pepohonan menjulang. Hal itu bisa menjadi kenyataan jika proyek penanaman pohon besar-besaran yang tengah digarap PT Freeport Indonesia di sini berjalan mulus sesuai harapan.
Sejak dua tahun lalu, Freeport bersama mitranya, PT. Sarbi Moerhani Lestari, menanam aneka jenis pohon, mulai dari cemara gunung, lamtoro, jabon, kemiri, matoa, genemo, petai, linggoa, merbau, masohi hingga pinang di lahan seluas 543 hektar dari total 594,56 hektar. Bagian yang dilewatkan itu oleh pemilik hak ulayat tidak mendapat izin untuk ditanami.
Bibit-bibit pohon tadi ditanam dengan jarak tiga meter, ditancapi ajer sebagai penanda. Menyokong pertumbuhan awal, setiap lubang tanam dipasangi pupuk kandang yang dicetak melingkar, berdiameter sekira 20 cm. Selain pupuk kandang, bibit juga didoping dengan NPK 0,7. Sementara, sebagai pengganti air dan menjaga kelembapan tanah, setiap bibit disisipi hydrogel. Hydrogel-hydorgel ini akan diganti setahun sekali.
Kru Fokus Papua menemui salah satu pekerja di Alang Alang, Daud Wally. Daud bersama timnya sejumlah 15 orang dipercayakan menggarap lahan seluas 28,18 hektar. Daud yang memegang posisi sebagai mandor untuk rekan-rekannya yang seluruhnya berasal dari kampung sekitar lokasi.
“Dari penanaman hingga pemasangan ajer kami dapat 116 juta rupiah. Bibitnya ditanggung perusahaan,” tutur pria asal Nambon ini.
Selain kelompok Daud, masih ada 18 kelompok lain yang terlibat. Setiap kelompok bertanggung jawab untuk lahan antara 25-35 hektar. Daud juga mengungkap, selama memasuki tahap pemeliharaan, jumlah pekerja, tak terkecuali timnya semakin berkurang. Namun dia enggan menjelaskan sebabnya.
“Sa pu kelompok tersisa empat orang.”
Program Penghijauan Berskema Partisipasi Masyarakat Lokal
Selain bukit Alang Alang di Kemtuk, program serupa juga tengah digeber PT Freeport Indonesia di sejumlah tempat seperti Kampung Asei, Sere, Ayapo, Puai, Yokiwa dan Buper Waena.
Kepedulian dan keterlibatan Freeport terhadap penghijauan di sejumlah tempat itu, bukan tanpa dasar. Perusahaan tambang raksasa yang bermarkas di Phoenix, Amerika Serikat itu punya tanggung jawab pemeliharaan lingkungan atas dampak yang disebabkan oleh kegiatan operasionalnya di Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Di mana, untuk operasional, Freeport menggunakan 3.810 hektar lahan, mayoritasnya di dataran tinggi.
“Secara aturan, perusahaan tambang, dalam hal ini Freeport, dapat melakukan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Kami menggunakan kawasan hutan, maka kami punya kewajiban untuk melakukan rehabilitasi kawasan yang luasnya sama (wilayah operasional-red) ditambah sepuluh persen,” ungkap Vice President Enviromental PT Freeport Indonesia Gesang Setyadi saat ditemui Fokus Papua awal November ini di Jayapura.
Bukan perkara mudah bagi Freeport untuk mencari lahan untuk memenuhi kewajiban itu. Kata Gesang, di Mimika mereka telah punya program serupa, namun tidak mencukupi dari yang seharusnya, yaitu 4.232 hektar.
Atas rekomendasi dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS Mamberamo) dan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), perusahaan mengadakan kegiatan itu di Kota dan Kabupaten Jayapura.
Menarik bahwa proyek yang disebut rehabilitasi daerah aliran sungai ini dirancang untuk melibatkan partisipasi masyarakat lokal, mulai dari penyediaan bibit, penanaman, hingga pemeliharaan. Freeport berharap, dalam jangka waktu tiga tahun, program ini sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Itu pula alasan mengapa 40 persen dari bibit merupakan tanaman buah.
“Awalnya cuma 25 persen (tanaman buah-red), tapi atas kesepakatan bersama, kita naikkan jadi 40 persen,” kata Gesang.
Project Coordinator Rehabilitas DAS PT Freeport Indonesia Dendy Sofyandi menambahkan, awalnya, masyarakat lokal diharapkan menyediakan bibit pohon, sayangnya, mereka (masyarakat) belum mampu memenuhi pasokan sesuai kebutuhan. Solusinya, bibit disuplai dari penangkar bibit sekitar Kota dan Kabupaten Jayapura.
“Mereka (para penangkar-red) sudah punya pengalaman pembibitan, sebagian besar dari mereka masyarakat asli Papua yang pernah bekerja di kehutanan,” ujar Dendy.
Dendy juga menjelaskan, ada tiga fase dalam program ini, yakni P0 (penanaman), P1 (pemeliharaan tahun pertama), dan P2 (pemeliharaan tahun kedua).
“Setelah itu kita kembalikan kepada masyarakat.”
“Boleh dicek, satu-satunya program rehabilitasi di Indonesia yang turun mengawal jalannya kegiatan hanya Freeport. Yang lain, usai tanda tangan kontrak, sepenuhnya diserahkan ke kontraktornya,” timpal Dendy.
Dirancang sedemikian rupa, tidak serta merta program ini diterima oleh masyarakat. Ragam penolakan dan masalah sosial menjadi tantangan tersendiri. Sudah begitu, Freeport juga diserang dengan isu tidak sedap, bahwa misi utamanya justru mengincar mineral di areal penanaman. Pihak perusahaan bahkan harus melakukan sosialisasi selama sembilan bulan untuk meyakinkan masyarakat.
“Satu kampung bisa tiga sampai empat kali sosialisasi.”
Pihak Freeport mengklaim, dari hasil evaluasi, sementara ini, program ini cukup menjanjikan. Itu terlihat dari rata-rata lolos tumbuh yang mencapai di atas 90 persen. Untuk bibit yang mati atau gagal tumbuh, Gesang menggaransi akan ditanami ulang oleh kontraktor.
“Kami tidak bisa memilih karena lokasinya ditentukan oleh Kementerian LHK. Kalau kami bisa memilih pasti cari daerah subur,” tandasnya.
Keterbatasan waktu merupakan kendala kru Fokus Papua mendatangi langsung semua lokasi penanaman. Namun, semangat Gesang dan Dendy dalam menjelaskan sudah cukup menggambarkan optimisme akan keberhasilan program ini. Betapa pun begitu, waktu juga yang akan menjawabnya. Kita tunggu bersama. (*)