Sawe Suma. Nama kampung di perbatasan Kabupaten Jayapura dan Sarmi ini memang jarang terdengar. Maklum saja, dari sisi teknologi dan informasi, bisa disebut kampung ini masih terisolir, sekadar jaringan seluler pun belum memadai.
Secara administratif, Sawe Suma berada dalam lingkup pemerintahan Distik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura. Dari arah Sentani, kampung ini bisa dijangkau selama empat jam dengan kendaraan, demikian halnya dengan perjalanan dari Sarmi. Bersama tim dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Papua dan World Wide Fund (WWF) Papua, kru Fokus Papua berkesempatan berkunjung ke sana pada penghujung Juni lalu.
Sawe Suma didiami oleh tujuh suku asli yang disebut Sawe. Orang Sawe terdiri dari empat marga besar: Digan, Jasa, Tekbo dan Bunggu. Memiliki luas sekitar 1.665 hektar, kampung ini dihuni kurang lebih 179 kepala keluarga, dengan jumlah penduduk 283 jiwa. Mayoritasnya bermata pencaharian sebagai petani dan peramu.
Dua pertiga dari luas wilayah Sawe Suma merupakan hutan lindung (480 hektar) dan dusun sagu (120,44 hektar). Hutan lebat yang ditumbuhi aneka kayu berkualitas tak pelak membuat daerah ini menjadi incaran para pembalak liar. Seiring berjalannya waktu, illegal logging menjadi hal tak terhindarkan. Hal ini pula yang menggungah WWF Papua untuk melakukan pendampingan sejak 2019. Secara perlahan, WWF ingin mengubah ketergantungan pendapatan masyarakat dari upeti oknum-oknum pembalak liar. WWF mendorong pengembangan ekowisata.
Bersama masyarakat adat, tahun 2020, WWF mulai mengembangkan usaha melalui kelompok ekowisata Hotep. Mereka menjual destinasi wisata alam dan suguhan budaya suku Orya di Kabupaten Jayapura.
Kelompok Hotep diketuai oleh kepala suku besar Sawe, Roby Digan. Dibantu istrinya, Novilia Aru, Roby melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk mama-mama yang tergabung dalam kelompok Perempuan Adat Inger Wewal (Perempuan dan Cenderawasih). Mama-mama ini bertugas sebagai chef menu lokal bagi para tetamu.
“Tinggal jauh dari kota, kami ini selalu merindukan pemberdayaan bagi kelompok kami. Puji Tuhan, setelah WWF masuk dan Dinas Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Jayapura memberikan perhatian untuk kami di sini tentang keterampilan yang harus kita miliki, termasuk memanfaatkan sagu yang kami punya sebagai produk, maka kami belajar untuk bikin kerupuk sagu dan itu sering kami bikin kalau ada permintaan. Di sini kami bisa buat dalam jumlah banyak, cuma sampai saat ini belum ada pasar,” tutur Novi saat ditemui Fokus Papua.
Lalu apa daya tarik utama dari ekowisata Sawe Suma? Jawabannya tentu saja cenderawasih, ya si burung surga. Hutan Sawe Suma adalah ekosistem dari beberapa jenis cenderawasih, termasuk yang berkategori langka, hingga yang hampir punah.
Kru Fokus Papua berkesempatan menyaksikan keberadaan burung berbulu indah ini. Pukul 04.00 dini hari kami sudah bersiap. Namun, sebelum menuju lokasinya, kami diwanti-wanti untuk menghindari beberapa hal, seperti tidak bersuara selama pemantauan berlangsung. Kata Denis, cenderawasih sangat peka dan sensitif dengan suara (noisy), aroma parfum bahkan warna mencolok. Kami pun memutuskan mengenakan pakaian hitam. Demi melihat langsung tarian cenderawasih, kami juga harus rela mandi di pagi buta untuk menghilangkan sisa bau parfum di badan.
Setelah semua dinyatakan siap, rombongan kami sekira 12 orang pun memulai tracking ke dalam hutan lebat. Medan yang dilalui lumayan berat, sedikit menanjak dengan kondisi tanah berlumpur. Untung saja kami sudah dibekali sepatu boot oleh pihak WWF.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 40 menit sejauh tujuh ratusan meter, kami akhirnya tiba juga di titik yang disebut sarang cenderawasih. Rasa lelah rasanya lunas terbayar dengan pemandangan yang kami dapati. Dalam suasana remang, dengan mata telanjang, tampak beberapa burung cantik dengan ekor yang menjuntai, sedang bertengger di dahan pohon. Warna bulunya kontras, cokelat, kuning dan putih.
Beberapa ekor lainnya tampak sedang bermain, saling menggoda dengan lawan jenisnya. Cengkerama antara mereka itu malah terlihat sebagai sebuah tarian. Sungguh indah dan memukau.
Oleh Denis, kami juga diberi kesempatan menggunakan teropong untuk melihat cenderawasih yang berada dia atas pucuk-pucuk pohon yang tingginya mecapai 20 puluhan meter. Tak jelas jumlah tepatnya, tapi kalau dihitung-hitung, kira-kira mereka ada belasan ekor.
Kawanan burung ini hanya datang di spot tersebut pada dini hari, setelahnya mereka akan menghilang sebelum kembali lagi menjelang matahari terbenam.
Setengah berbisik, Denis menjelaskan bahwa, pohon tempat mereka bertenger adalah semecarpus sp, pometia pinata dan Intsia palembanica. Lagi, kata Denis, yang kami lihat ini jenis cenderawasih kuning-kecil (paradisaea minor) yang terkenal dengan sahutannya saat memanggil cenderawasih betina. Denis juga memberitahu cara membedakan cenderawasih jantan dan betina dari jenis suaranya. Suara cenderawasih jantan lebih nyaring namun tetap merdu. Beda lagi sama betina yang terdengar lebih rendah dan lembut. Dari perpaduan suara keduanya, rasanya kita sedang diperdengarkan alunan musik yang begitu syahdu dan menghanyutkan.
Ratusan meter dari tempat kami berada, ada juga tim lain yang sedang memantau cenderawasih raja (cicinnurus regius). Meskipun kru Fokus Papha tak lagi ikut ke sana, namun menurut Nick Mehue yang juga ikut tim mengatakan cenderawasih raja tidak besar dengan warna seperti bunga api irian (flame of irian). Paruhnya berwarna orange.
“Tapi jangan salah suaranya sangat besar dan lebih merdu,” cerita Nick.
*
Keberadaan Hotep ini praktis akan melengkapi dua spot birds watching di Kabupaten Jayapura yakni di Depapre dan satu lagi yang sudah kesohor, Isyo Hill’s di Rhepang Muaif, Nimbokrang. Isyo Hill’s dibidani oleh penerima Kalpataru 2017, Alex Waisimon.
“Dari hasil identifikasi didapatlah tujuh jenis burung cenderawasih, tiga di antaranya itu dapat diidentifikasi lewat suara, itu kita libatkan akademisi Uncen (Universitas Cenderawasih-red) Pak Hendra Maury, beliau kebetulan spesialis jenis-jenis burung,” kata Denis Wakum, aktivis dari WWF.
Meski akses ke sana belum memadai dan tak seterkenal spot Isyo Hill’s, Roby dan kelompoknya yakin usaha mereka tidak akan sia-sia. Keyakinan Kelompok Hotep itu tentu saja bukan tanpa modal. Hotep memiliki keunggulan yang tak dimiliki spot lain yaitu cenderawasih kuning-kecil (paradisaea minor), toowa cemerlang (ptiloris magnificus) dan cenderawasih raja (cicinnurus regius). Ini adalah ragam spesies langka, incaran para fotografer dunia dan turis pecinta burung.
“Kebanyakan kita di Papua sebut cenderawasih cenderung yang minor (cenderawasih kuning-red) tapi ternyata ada berapa jenisnya. Kemudian ada satu jenis yaitu paruh sabit, itu sangat susah dan biasanya ada di bulan-bulan tertentu, ketika ada musim buah baru dia datang. Pernah ada satu wisatawan, dia sudah 40 tahun cari burung ini tapi tidak pernah ketemu, dia sampai ke Australia, lalu datang ke Papua bertemu pak Alex (Waisimon), baru dia lihat yang jenis paruh sabit. Dan jenis paruh sabit di Sawe Suma juga ada,” ujar Denis.
Untuk menambah daya tarik spot cenderawasih di Sawe Suma, Roby pun berinisiatif untuk menyelenggarakan atraksi budaya dalam dua paket tur yang rencananya akan dijual ke publik. Sebut saja seperti aktivitas belajar berburu dan memanah yang menjadi keahlian khusus masyarakat setempat.
“Sekalipun dia anak-anak, sekali panah tepat sasaran,” aku Roby.
Selain berburu dan memanah, paket wisata juga akan dilengkapi dengan paket tur di Kampung Tua (Bukit Kimir e). Itu sebuah kawasan yang dianggap sakral, terlarang, tidak sembarang dimasuki orang lain.
Yang tak kalah menarik, masyarakat Sawe Suma juga menyelenggarakan tracking hutan untuk menjelajahi obat-obat tradisional, hingga atraksi bakar batu. (*)