Menanti Dusun Sagu Sereh Kembali Rimbun

Dusun Sagu Sereh Sentani

Pikiran George Ondi mengawang jauh, berusaha mengingat-ingat peristiwa tragis pada lima tahun silam, di mana banjir besar meluluhlantakkan Kota Sentani dan sekitarnya. Sebuah kejadian luar biasa yang merenggut ratusan nyawa.

Wajah salah satu khoselo (kepala suku) di kampung Sereh ini terlihat muram, ada kesedihan di sana setiap kali membayangkan malam naas itu. Itu sebab, di waktu turun hujan, ia selalu merasa was-was. Walaupun George bukanlah korban tapi ia dengan mata kepala menyaksikan kerusakan dan ikut serta mengevakuasi korban.

Read More
iklan

“Saya sendiri mengalami dahsyatnya banjir hari itu, bahkan saya sendiri angkat anak yang meninggal dari dalam lumpur, dan itu momen yang akan ada terus dalam pikiran. Saya berharap itu terakhir dan jangan terjadi lagi,” katanya kepada Fokus Papua, awal Maret ini.

Khoselo George Ondi

Tak mau peristiwa itu terulang lagi, George sangat berharap isu-isu lingkungan dikedepankan. Itu juga mengapa ia sebagai tokoh masyarakat setempat berdiri di depan mendukung aksi World Wide Fund for Nature (WWF) Papua dan sanggar seni Robongholo Sereh, Sentani, yang melakukan penanaman sagu di kampung Sereh, Kamis (14/3/24).

Baca Juga : Tanam Sagu di Kampung Sereh, WWF Papua: Restorasi sekaligus Mitigasi Bencana https://fokuspapua.com/tanam-sagu-di-kampung-sereh-wwf-papua-restorasi-sekaligus-mitigasi-bencana/

Sudut dusun Sagu Sereh yang terlihat persis berada di kaki gunung cycloop

Dusun yang ditanami ini tepat di bawah kaki gunung Cycloop, namun sedikit unik karena berada di tengah pemukimam penduduk, agak berbeda dengan dusun sagu lain pada umumnya. Menurut cerita turun-temurun, dulunya dusun sagu itu hanyalah sebuah kebun tanpa pohon sagu, dalam bahasa setempat disebut “Ebhaasekhee”. Selain berkebun, tempat ini jadi ladang berburu bagi masyarakat dari sekitaran danau Sentani. Pohon sagu kemudian ditanam, dimaksudkan sebagai sumber air untuk kebun mereka.

“Menurut cerita orang tua, di sini dulu tidak ada sagu. Dulu orang tua masih di danau datang ke sini untuk berkebun, menanam dan juga berburu hewan. Di sini tidak ada mata air. Orang tua ambil air dari kali. Tempat ini dulu rawa dan mobil tidak bisa lewat. Kita dulu jalan kaki, kalau terpeleset lumpurnya sepaha. Jadi kalau sekarang kendaraan bisa lewat itu proses yang cukup panjang,” kisah George.

Material berupa pasir dan bebatuan memenuhi bagian depan areal dusun sagu. Pasir dan bebatuan itu merupakan muntahan gunung Cyloop pada peristiwa banjir bandang, 16 Maret 2019 lalu.

“Supaya tidak terjadi lagi (bencana), hari ini kita ada duduk di sini. Kalau ini dibiarkan, orang yang trauma akan trauma terus, tidak akan pulih,” ujar George pada kegiatan penanaman.

Saat ini, sebagian kecil dari kawasan seluas 5,84 hektar itu telah digunakan sanggar seni bernama Robongholo, diketuai Jimmy Ondikeleuw. Sanggar ini telah membangun panggung pertunjukan di bagian tengah dusun sagu.


Kesehariannya sebagai pegiat seni tak lantas mengekang Jimmy untuk berkreativitas lebih. Ia ikut memikirkan kelestarian lingkungan. Ia dan anggota sanggarnya bahkan menjadi motor penggerak dalam upaya penanaman sagu yang diinisiasi WWF Papua. Sanggar Robongholo menyumbang 100 bibit anakan sagu pada penanaman tahap pertama.

Jimmy Ondikeleuw

Jauh sebelumnya, sanggar Robongholo telah menjadi tempat edukasi bagi pelajar tentang peran pohon sagu dalam menjaga ekosistem.

Materi edukasi yang diajarkan bahwa; sagu memerlukan waktu panjang, sekira 20 hingga 30 tahun untuk bisa dipanen. Selain itu, sagu memiliki nilai tersendiri dalam tatanan adat masyarakat Sentani. Masih kata Jimmy, Kabupaten Jayapura memiliki jenis sagu terbanyak di Indonesia (35 jenis), enam di antaranya berada di dusun sagu Sereh. Jenis sagu unggulan yang ditanam yaitu sagu yebha (tidak berduri) dan phara (berduri). Keduanya diklaim memiliki harapan tumbuh yang lebih baik dari jenis lainnya.

“Peyebaran sagu di dunia begitu banyak dan secara khusus terbesar ada di Indonesia dan itu ada di Papua. Kualitas sagu terbaik ada di Sentani,” akunya.

Jimmy bermimpi, suatu waktu, dusun sagu ini akan dikenal tidak hanya sebagai lokasi pagelaran seni budaya, tetapi juga tempat edukasi dan ekowisata.

“Rata-rata pagelaran itu di gedung dan dekorasi, lalu pentas. Tapi kami mencoba membuat sesuatu yang berbeda, mengambil risiko dan membersihkan dusun sagu ini dan kita membuat panggung pertunjukan di tengah-tengah dusun sagu, tapi belum terjadi sampai dengan hari ini. Panggung masih tinggal, mimpi kami belum tercapai, tapi saya percaya suatu saat kami akan buat di tempat ini. Kami akan dedikasikan pertunjukan seni itu untuk penyelamatan lingkungan hidup, terlebih khusus penyelamatan dan pelestarian hutan sagu,” ungkap Jimmy.


Selain sagu, Jimmy juga mengenalkan pola tumpang sari kepada masyarakat. Sanggarnya telah menyiapkan 50 bibit tanaman buah-buahan seperti matoa,rambutan dan lainnya yang ditanam di antara pohon sagu. Tanaman buah-buahan ini bisa dipanen dalam jangka waktu tiga hingga lima tahun ke depan.

“Orang-orang tua dulu sudah investasikan sagu supaya anak cucu tidak kelaparan tetapi lumbung-lumbung pangan tetap terjaga dan terisi. Dan semangat itulah yang membakar kami untuk coba tunjukan sagu dalam bentuk yang lain, bukan hanya sagu untuk papeda, kue ataupun sagu bakar, tapi dusun sagu dijadikan tempat untuk wisata, tempat untuk belajar dan bersantai.”

Ia sungguh berharap dukungan dari semua pihak di lain sisi, ia dan komunitasnya berjanji menjadi garda terdepan untuk menjaga kelestarian dusun sagu dan lingkungan sekitar Cycloop.

Baca Juga : Dalam Sehari, 377 Kilogram Sampah Terkumpul dari Aksi Bersih-bersih di Dermaga Yahim https://fokuspapua.com/dalam-sehari-377-kilogram-sampah-terkumpul-dari-aksi-bersih-bersih-di-dermaga-yahim/

Wika Rumbiak dari WWF menambahkan, pihaknya akan terus mendorong aksi mitigasi bencana dan menggalakkan partisipasi dan kolaborasi semua pihak, utamanya masyarakat agar tercipta kesadaran dan kepedulian menjaga lingkungan di tengah perubahan iklim. Bagi WWF, di luar mitigasi bencana, restorasi sagu ini juga dimaksudkan sebagai perlidungan terhadap sumber air dan menjaga pangan lokal.

“Kami senang sekali pemerintah daearah berkomitmen terbuka untuk semua pihak, jadi bukan hanya kerja sama dengan WWF tapi juga kerja sama dengan kelompok Robongholo, pemerintah kampung di sini dan komunitas yang ada di kampung Sereh. Saya pikir ini baru satu spot, kita berharap pemerintah provinsi bisa mendukung spot yang lain, jadi kita replikasi,” tutup Wika. (*)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *