Kondisi latar perbukitan yang tandus usai dilalap si jago merah menggagalkan maksud kami berburu swafoto di dermaga Toware. Kadung jalan, kami pun sepakat untuk berkeliling danau dengan perahu motor.
Setelah bersabar kurang lebih 15 menit, yang ditunggu akhirnya tiba juga. “Kaka, kami mau keliling danau buat foto-foto, bayar berapa?” tanyaku kepada tukang perahu yang barusan merapat di dermaga Patouw, dermaga yang menghubungkan kampung Toware, Kwadeware dan Dondai yang terletak di tengah danau Sentani.
“Terserah, mau kasih berapa,” ujar pria yang belakangan diketahui bernama Theys. Theys merupakan salah satu dari dua tukang perahu yang beroperasi di antara tiga kampung tadi.
Bersama dua rekan, serta seorang penumpang lain, kami pun menaiki perahu motor Theys. Sambil memutar haluan, Theys menawarkan mengantar kami ke sebuah tempat bernama “Batu Beranak”. Mendengar nama unik itu, spontan saja kami mengiyakan.
Perjalanan ke lokasi “Batu Beranak” memakan waktu kurang lebih 20 menit. Bebatuan yang dimaksud berada di dekat sebuah pulau kosong bernama Mantai. Di Pulau Mantai terdapat dermaga. Kelihatannya, pulau ini sedang dirancang untuk menjadi sebuah destinasi wisata baru. Beberapa warga lokal tampak sedang berenang di dekat dermaga.
Usai Theys menambatkan perahu, kami pun turun, dan tanpa dikomando, langsung saja mengabadikan susana tempat itu dengan kamera handphone.
Yang menarik perhatian adalah dua buah batu yang tertanam dalam air, tidak jauh dari bibir danau yang berpasir putih. Inilah yang disebut situs Batu Beranak, yang satu berukuran lebih besar dari lainnya. Batu yang paling besar bentuknya trapesium, tingginya kira-kira lebih dari dua meter. Konon, dalam air, masih terdapat kurang lebih 10 anakan batu lainnya.
Tidak lengkap rasanya kalau kami tidak mengorek keterangan tentang keberadaan batu tersebut. Kami pun berhasil menemui Stevi Marweri, pemuda kampung Kwadeware. Kwadeware yang dalam bahasa Sentani disebut Yonokhong, kampung terdekat dari Mantai.
Stevi Marweri mengisahkan sebuah legenda yang dipercaya turun temurun. Alkisah, dulunya, sekitar abad ke 18, Pulau Mantai didiami oleh suku asli bernama Ayakhanda sebelum diserang dan dikalahkan oleh suku Marweri yang datang dari selatan, memakai hobatan/ilmu hitam.
Sebelumnya, suku Marweri tiba di Yonokhong, di mana terdapat sebuah batu bernama Sendang Dumarang (saat ini di dekat pemakaman kampung). Nah, batu itu sendiri dipercaya dibawa oleh burung-burung kecil (aye ningning) atas perintah roh nenek moyang mereka sebagai petunjuk ke mana suku Marweri harus pergi.
Mengetahui ada batu serupa di Mantai, suku Marweri pun menyerang dan mengalahkan suku Ayakhanda. Tapi kemudian suku Marweri tidak menetap di Mantai. Mereka memilih mengosongkan pulau itu.
Bagi Steve dan sukunya, Mantai kini dimaknai sebagai pusat transformasi dari kegelapan ke masa mereka menerima menerima Injil sebagai jalan keselamatan.
Tapi itu dari sisi kepercayaan masyarakat setempat. Berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Papua tahun 2018, batu-batu di sekitar Kwadeware itu merupakan peninggalan zaman pra-sejarah. Dikenal dengan zaman batu (megalitikum). Batu di Mantai, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, juga ditemukan di situs Tutari, yang berada di Doyo lama, tidak jauh dari Yonokhong (Kwadeware).
‘Ini peninggalan masyarakat nomaden (hidup berpindah tempat),” tutur Abner Dimara, penyuluh senior pada Museum Negeri Provinsi Papua, Waena.
“Ciri khasnya berburu dan meramu,” sambung pria yang akrab disapa Om Napi ini.
Masih menurut Abner, batu di Pulau Mantai tersebut masuk dalam peninggalan zaman batu, yang juga disebut dengan menhir.
Mengutip dari Wikipedia, menhir adalah batu tunggal, biasanya berukuran besar, yang ditata seperlunya sehingga berbentuk tugu dan biasanya diletakkan berdiri tegak di atas tanah. Budaya megalitik masuk di Papua melalui dua jalur yaitu melalui kepulauan Indonesia bagian selatan, dari Maluku ke Sorong, Fakfak, Kaimana di selatan, dan hingga Mamberamo di Utara.
Jalur kedua dari Formosa (Taiwan) terus ke Papua New Guinea dan masuk ke Papua melalui dua jalur yaitu yang ke Merauke di selatan dan yang ke Jayapura, Nafri hingga Danau Sentani, Biak, dan Waigeo Utara.
Budaya megalitik yang masuk ke wilayah Danau Sentani adalah yang datang melalui Papua New Guinea, mengikuti jalur utara.
***
Sekarang ini, bersama rekan-rekannya, sesama pemuda Kwadeware, Stevi Marweri sedang mengupayakan pengembangan Pulau Mantai sebagai sebuah objek wisata baru. Ia berharap banyak pada Dinas Pariwisata Kabupaten Jayapura untuk membantu.
Usaha pembangunan telah dimulai Agustus tahun lalu. Masyarakat, dengan sokongan dana desa, membersihkan kawasan Mantai, termasuk membangun dermaga.
“Kami mau bikin spot foto, dan kalau memungkinkan, juga ada home stay di Mantai,” harap Stevi saat ditemui Fokus Papua, awal tahun ini.
Bila Anda ingin mengunjungi Mantai, hanya perlu mengeluarkan biaya transportasi 10 ribu rupiah, pulang-pergi. Tarif ini di luar biaya jika Anda ingin berkeliling menikmati suasana danau Sentani. Silakan negosiasi dengan tukang perahu. (*)