Punya Nilai Ekonomi Menggiurkan, Ternyata Anggrek Belum Banyak Dilirik

Paphiopedilum violascens (anggrek kasut pita) spesies paphiopedilum glanduliferum yang merupakan endemik Papua di luar Indonesia harganya sekitar 60 juta rupiah. (sumber foto: Fokus Papua)

Salah satu stand yang cukup menyita perhatian dalam Festival Danau Sentani (FDS), pekan lalu, lalu adalah pameran bunga anggrek asal Kampung Waibron, Kabupaten Jayapura.

Bila lazimnya stand bunga dijaga oleh kaum hawa, maka stand di FDS yang dirangkaikan dengan Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara VI ini justru digawangi oleh seorang pria bernama Karel Samonsabra. Karel sendiri merupakan Ketua Asosiasi Petani Anggrek Indonesia Provinsi Papua.

Read More
iklan
Karel Samonsabra Ketua Asosiasi Petani Anggrek Indonesia Provinsi Papua.(sumber foto : Fokus Papua)


Demi tampil di ajang ini, ia bahkan rela merogoh kocek pribadinya untuk membangun stand. Kepada Fokus Papua, Karel bercerita panjang lebar seputar dunianya. Sepengetahuan Karel, dari 5.000 spesies anggrek alam di Indonesia, setengah dari itu atau sekitar 2.600 spesies berada di Papua, dan ia sendiri mengoleksi sekitar 50 jenis. Untuk pameran di FDS ini ia membawa sekitar 30 jenis anggrek.

Dendrobium lineale(Anggrek Merpati) (Sumber foto: Fokus Papua)

“Dari 50 koleksi itu, ada dendrobium lasienthera, dendrobium lineale, dendrobium antennatum (anggrek kelinci), dendrobium spectabile (anggrek kribo), dendrobium smilliae, macrophyllum Papua (anggrek jamrud), paphiopedilum violascens, dendrobium violaceoflavens sp (anggrek besi Papua), dendrobium schulleri, dipodium pandanum, anggrek hitam Papua dan beberapa lagi yang saya tidak hafal namanya,” beber Karlos, Selasa (25/10/2022).
Anggrek utama di stand miliknya adalah paphiopedilum violascens (anggrek kasut pita) dan dendrobium violaceoflavens sp (anggrek besi Papua). Anggrek spesies paphiopedilum tercatat ada 4 spesies di Papua dan yang berada di stand pameran ini adalah spesies paphiopedilum glanduliferum yang merupakan endemik Papua.

Dendrobium violaceoflavens sp (anggrek besi Papua) yang tergolong kedalam anggrek paling mahal. (sumber foto:Fokus Papua)

“Primadona di pameran ini ada paphiopedilum violascens, saya dapat di Raja Ampat dan anggrek itu memang aslinya dari Raja Ampat. Ini masuk dalam anggrek apendiks artinya yang dilindungi undang-undang, jadi tidak bisa jual sembarang, kalau mau jual kita harus urus yang namanya izin CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna dan Flora). Dan yang saya jual ini sudah turunan dari yang aslinya setelah saya budi daya”,beber Karlos.

Harga phapio sendiri bukan main. Menurut Karlos, di Singapura bisa mencapai 60 juta rupiah. “Kalau di sini saya jual 3,5juta. Kalau anggrek besi itu asli dari Jayapura itu paling mahal dan ada juga di Nabire dan Waropen. Panjang 30-60 cm itu di pasaran harganya lima ratus ribu rupiah,” ungkap mantan anggota DPRD Kabupaten Jayapura 2014-2019 ini.
Kecintaan Karlos terhadap bunga jenis ini sudah sejak lama, dari dia duduk di bangku SMP kelas tiga. Saat itu, dia gemar keluar masuk hutan berburu anggrek.

Boleh dikata, Karlos baru berjualan anggrek selama satu dekade belakangan. Sepuluh tahun lalu ia membuka greenhouse di Ale-ale Padang Bulan.
“Saya 38 tahun jatuh bangun di anggrek ini. Saya punya mimpi Papua ini punya hutan anggrek yang dikelola minimal satu hektar. Di situ semua anggrek dikumpul”,ujar Karlos.
Sebagai Ketua Asosiasi Petani Anggrek Indonesia Provinsi Papua, ia menyoroti kurangnya perhatian Pemerintah kepada para petani. Misalnya, para petani tidak dilibatkan dalam kegiatan pameran di luar Papua.

Dendrobium schulleri (sumber foto: Fokus Papua)

“Saya lihat Pemda ini APBD-nya kasih ke PAI (Perhimpunan Anggrek Indonesia). Padahal, undang-undang larang PAI jual anggrek. Yang punya hak jual anggrek itu petani, bukan anggota PAI. PAI itu hanya menghimpun anggota dan menghimbau untuk menanam dan memelihara. Ini kebalikan, kalau ada pameran di luar itu yang pergi kepala dinas, kepala bidang, sedangkan kami petani ini hanya jadi penonton saja. Anggreknya dibawa, orangnya tinggal, mereka (pemerintah) selalu berdalih soal dana, itu lagu lama,” ketusnya.
Sejauh ini, pembinaan petani anggrek di Papua dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Bagi Karlos, di tengah ancaman kepunahan beberapa anggrek Papua dan klaim hak kepemilikan anggrek Papua oleh negara lain, seharusnya pemerintah dapat memiliki kebijakan terkait perlindungan dan pemberdayaan terhadap para petani.

“Di Jayapura, Merauke dan Waropen itu sudah ada pembinaan dari BKSDA itu ada program pembinaan yang namanya program pembinaan masyarakat kawasan hutan, itu mereka punya petani anggrek juga. Namun, belum ada pembinaan yang intensif dari pemda terhadap petani Anggrek. Harusnya adalah mulai dari budidaya sampai pemasaran.

Untuk itu, ia punya pengalaman menerima pesanan dari salah satu hotel di Jayapura. Pesanan itu batal karena pihak hotel merasa tidak cocok dengan harga.

“Nah, pemerintah harusnya membangun kerja sama dengan pebisnis perhotelan dan restoran ini, tolong petani, tolong anggrek kami dipesan dan taruh di tempat mereka. Bisa juga melalui sistem sewa enam bulan atau sesuai ketentuan kedua belah pihak, tapi ini kan tidak ada.”
Selain itu, ia berharap, petani juga diberdayakan untuk perawatan anggrek di hotel, resto, atau yang di VIP room Bandara Sentani.
Ia juga berbagi tips untuk para petani pemula. Sebaiknya hasil buruan tidak langsung dijual. “Jangan langsung jual, jangan langsung kasih ke pejabat, kita harus budidaya. Dari hutan kita tangkar dulu. Anggrek Papua sudah ada di seluruh Indonesia sampai yang di Papua ini sudah terancam punah, jadi mari kita jaga milik kita bersama,” tutupnya. (*)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *