Situs Gunung Srobu dan Tutari, Dua Bukti Sahih Peradaban Masa Prasejarah Papua

Kawasan konservasi alam Gunung Srobu di Teluk Youtefa, Kota Jayapura/Istimewa

Sejarah peradaban masyarakat di pesisir Papua ternyata lebih tua dari perkiraan sebelumnya. Situs Gunung Srobu di Teluk Yotefa Kota Jayapura mengungkap fakta baru. Situs megalitik seluas 20.059 M2 ini baru ditemukan oleh Balai Arkeologi Papua pada tahun 2014 silam. Sekarang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi alam. 

Read More
iklan

Setelah dilakukan penelitian, benda-benda budaya yang ditemukan di Gunung Srobu ini kemudian dipetakan menjadi lima bagian situs. Ditemui pula fakta jika benda-benda ini ternyata sudah ada sejak zaman prasejarah.

Benda-benda prasejarah yang ada di Gunung Srobu

“Hasil penelitian dan dari hasil pertanggalan yang kami lakukan, angka tahun yang kami dapat di situs Gunung Srobu ini sudah dihuni sejak 3.78 BP (Before Present), suatu zaman masa neolitikum,” tutur Erlin Novita Idje Djami, peneliti dari Balai Arkeologi Papua.

Menurutnya, ini hal yang sangat menarik di mana zaman itu orang Papua ternyata sudah memiliki kebudayaan yang luar biasa.

Penelitian juga menyebutkan, kawasan ini dulunya didiami oleh dua ras yaitu Melanesia dan Mongoloid.

Ada dua dua arca, dolmen dan menhir yang tertata rapi di atas bukit, yang menurut Gusti Made Sudarmika, Kepala Balai Arkeolog Papua, menggambarkan pola kehidupan manusia yang damai dan sejahtera.

”Sudah sejahtera pada masa itu, karena sudah bisa membuat periuk yang bagus, arca, pola-pola hias sudah bagus. Itu karena sudah damai. Karena orang yang dalam kondisi sejahtera akan muncul kreativitas, seni itu akan muncul. Karena perut sudah kenyang, munculah ide-ide kreatif dia. Kalau orang dalam keadaan lapar nggak mungkin mikirin itu,” jelasnya.

Kepala Balai Arkeologi Papua Gusti Made Sudarmika

Selain Gunung Srobu, ada pula situs Megalitik Tutari yang terletak di Kampung Doyo Lama, Sentani, Kabupaten Jayapura. Situs Tutari berada pada ketinggian 30-300Mdpl dengan luas kurang lebih 60.000m2. Di sana terdapat sejumlah batu tegak serta bongkahan-bongkahan batu yang dilukis dengan berbagai motif.

Motif pada ukiran batu-batu yang terdapat di Situs Megalitik Tutari memiliki makna antara kehidupan manusia, alam serta hubungan   manusia dengan lingkungannya.

Salah satu benda prasejarah di Situ Tutari, Doyo Lama, Kabupaten Jayapura

“Konsep yang saya amati di Tutari itu bagaimana sih struktur kehidupan masa lalu di sana, bagaimana manusia hidup bersahabat dengan alam dalam arti danau Sentani mereka manfaatkan untuk hidup, kemudian bagaimana bersahabat dengan sesama umat manusia. Yang ketiga itu bagaimana mereka mengenal keyakinan, maka di Puncak Tutari kita bisa melihat ada menhir, batu-batu berdiri itu salah satu bukti, masyarakat Tutari sudah mengenal keyakinan terhadap kekuatan alam yang memberikan kesejahteraan bagi mereka,” jelas Sudarmika, Senin 3/01/2022.

Dia juga menyebutkan jika wilayah Doyo Lama dulunya didiami oleh suku Tutari. Namun suku ini punah akibat perang suku. Maka, masyarakat Doyo yang sekarang bukanlah keturunan suku Tutari. Mereka asalnya dari suku Ebe yang tinggal di sebuah pulau di danau Sentani bernama Yonahang (sekarang Kwadeware).

Peneliti dari Balai Arkeologi Papua Erlin Novita Idje Djami

***

Ada sebuah fenomena miris bahwa sebagian besar orang tidak memiliki ketertarikan dengan budaya masa lalu dan dianggap tidak penting. Padahal, ujar Gusti Sudarmika, budaya masa lalu seharusnya mendapat tempat, dicintai.

“Kenapa? Karena kita berangkat dari yang itu (budaya masa lalu) dulu. Tanpa itu kita nggak ada. Di situlah konsep Balai Arkeologi bekerja, makanya tanpa masa lalu nggak ada masa depan. Masa lalu kita kelola dengan baik dulu, karena masa lalu itu bentuk peradaban yang luar biasa,” jelasnya.

Peninggalan prasejarah di kedua situs megalitik, Tutari dan Gunung Probo, boleh saja dijadikan destinasi wisata. Namun, kata Sudarmika, seharusnya dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat serta tetap dijaga sebagai cagar budaya yang dilindungi.

Namun, perlu diingat jika pariwisata dan kebudayaan itu kerap bertentangan. “Di satu sisi kebudayaan melestarikan, di sisi yang lain pariwisata itu menjual tapi merusak,” katanya.

“Ada istilahnya take and give. Ada yang didapat dan ada yang diberi. Sejauh mana pariwisata bisa memanfaatkan dan memelihara. Jangan hanya menjual-menjual saja, boleh dijual tapi dalam koridor undang-undang cagar budaya.“  

Sudarmika berharap, para pemangku  kepentingan dan masyarakat dapat menjaga dan melestarikan situs-situs  prasejarah tersebut.

“Sehebat apapun pekerjaan kita dan anggaran kita tapi kalau masyarakat tidak berpatisipasi, sama saja,” pungkasnya. (*)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *