JAYAPURA, FP.COM – Festival Noken yang digelar di pelataran parkir Papua Youth Creative Hub (PYCH) telah ditutup pada 4/12/23. Namun, di balik euforianya, hajatan ini menyisakan cerita. Ada bahagia, ada pula cerita miris. Siapa lagi kalau bukan mama-mama pengrajin yang telah ikut ambil bagian di festival ini.
Seperti yang dialami Mama Martha Ohee. Martha membawa 14 anggotanya dari sanggar Kalkhote Permai. Mama-,mama dari Kampung Asei itu harus harus merogoh kocek Rp 40 ribu per orang untuk transportasi pulang-pergi. Itu pun mereka sudah menggunakan jasa taksi online yang harganya tergolong murah. Jadi, selama tiga hari itu, setidaknya Mama Martha dan kawan-kawan menghabiskan Rp 1,6 juta hanya untuk biaya transportasi.
Ongkos yang mereka keluarkan itu nyatanya tak sebanding dengan penjualan produk. “Sampai hari terakhir ini cuma dua barang saja yang dibeli, itu pun yang harga Rp 50 ribu,” keluh Martha.
“Tapi saya sangat bersyukur karena selama ini kita satu dua orang saja yang dipanggil untuk ikut event, tapi kali ini hampir semua pengrajin dapat nama untuk berpartisipasi di sini.”
“Yang mama syukuri itu, mereka dari kampung bisa keluar untuk belajar lihat kondisi pasar,” tambahnya.
Ketimbang Mama Martha, hasil lebih baik diperoleh sanggar Anniya yang punya ciri khas noken suku Mee. Menurut Mama Merry Dogopia, ketua sanggar, mereka berhasil melego lima sampai tujuh produk per hari. Tapi tidak semata noken dalam ragam ukuran, sanggar yang beranggotakan sepuluh pengrajin itu juga menjual topi kulit kayu dan yato (selimut asli suku Mee).
“Puji Tuhan, kita punya penjualan di sini dari hari pertama meningkat, tapi terus menurun di hari kedua dan ketiga, tapi puji Tuhan hasilnya cukup baik,” ujar Mama Merry mengucap Syukur.
Apapun hasilnya, Mama Martha dan Mama Merry memiliki tekad yang sama untuk terus melestarikan noken dan mewariskannya kepada generasi muda. Pun, keduanya punya kekhawatiran, kemajuan zaman akan menggerus dan menggilas budaya leluhur mereka itu. (*)