Suatu siang, pada tengahan Maret lalu, pelataran parkir Sekolah Anak Hebat Papua terlihat lengang. Sekolah di bawah Yayasan Shalom Center ini, sebagaimana sekolah lainnya di Kota Jayapura, masih menerapkan sistem belajar jarak jauh, imbas dari pandemi virus Corona.
Felda Lukas, sang ketua yayasan, menyambut hangat kru Fokus Papua yang bertandang. Tak berlama-lama, wanita paruh baya ini mengajak kami memasuki gedung sekolah yang berdiri di bilangan Hamadi, jalan poros menuju kawasan wisata pantai.
Ditemani tiga staf pengajar lainnya, kami menapaki tangga gedung; melihat dari dekat setiap ruangan belajar, mulai dari kelas PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan Sekolah Dasar (SD). Tak ada aktivitas di setiap kelas, tentu saja.
Selain gedung empat lantai yang difungsikan sebagai sekolah dan kantor, di dalam kompleks Shalom Center ini juga terdapat bangunan gereja yang konstruksinya masih menyatu dengan gedung sekolah.
Gerejanya bernama Jemaat Pinkster Shalom Centre Church (PSCC), bernaung di bawah Gereja Gerakan Pentakosta. Sebuah salib berukuran besar terpasang pada bagian atas dinding depannya. Walaupun gereja ini hanya berlantai satu namun tak menutupi kesan elegan dari sisi desainnya.
Hingga sekarang, Felda Lukas masih tak habis pikir, bagaimana yayasannya kini memiliki dua aset bangunan semegah ini. Tetapi, wanita berdarah Bugis-Manado ini masih ingat persis bagaimana yayasan ini bermula. Ia pun berbagi kisah kepada Tim Fokus Papua.
“Awalnya, tahun 2002, saya dan suami melayani seseorang bernama Tete (kakek-red) Sineri di Kompleks Pemda, Entrop,” ujar istri dari James Timothy, seorang dokter spesialis anak ini.
“Kebetulan, suami saya (masih dokter umum kala itu) suka melayani, tidak hanya medis, tapi juga pelayanan rohani,” sambung mantan bankir ini.
Selang beberapa waktu, aktivitas rutin mereka di keluarga Sineri menarik minat para tetangga, seingat Felda, ada duapuluhan orang. Muncullah ide untuk mendirikan jemaat sendiri.
Tetapi, niat itu terbentur pada biaya untuk membeli tanah dan mendirikan bangunan gereja. Di tengah pergumulan, Felda ingat kepada Manasye Robert Kambu, Wali Kota Jayapura ketika itu. Ia mengenal Kambu cukup dekat sebagai nasabah di sebuah bank swasta di mana ia bekerja. Ia pun memberanikan diri menghadap sang wali kota.
Tanpa disangka, Wali Kota Kambu merespons niat Felda dan Timothy. Oleh Kambu, mereka diperkenalkan kepada seorang pengusaha besar yang kemudian menghibahkan sebidang tanah berukuran cukup luas.
Gereja pun dibangun. Tapi jangan bayangkan gedung semegah sekarang. Jemaat kecil itu hanya sanggup mendirikan sebuah bangunan sederhana, berbahan triplek. Gubuk, boleh disebut. Ukurannya pun mini, hanya 6 x 7 meter. Jemaatnya diberi nama GGP Shalom, bernaung di bawah denominasi Gerakan Gereja Pentakosta (GGP). Belakangan (2014), berganti nama menjadi GGP Pinkster Shalom Centre Church.
Sayangnya, kebersamaan Felda dengan Jemaat Shalom tidak berlangsung lama, dia harus ikut sang suami hijrah ke Bandung menjalani program pendidikan spesialis. Sambil mendampingi suami di Kota Kembang, Felda berkesempatan belajar konseling di Sekolah Tinggi Teologia Tiranus Bandung.
Meskipun berjauhan, pasangan suami istri ini tak sepenuhnya putus kontak dengan jemaat yang dirintis tadi. Beberapa kali mereka menyempatkan diri pulang dan berkunjung.
Singkat cerita, selepas pendidikan, mereka pun menetapkan hati kembali ke Jayapura dan memilih tinggal di ruang pastori sederhana, bersebelahan dengan gereja.
Felda saat itu telah mundur dari pekerjaannya, dan hanya fokus mendamping jemaatnya. Saban pagi, ia punya kebiasaan duduk di halaman gereja, menyapa warga yang lalu-lalang. Ia juga menawarkan kepada masyarakat sekitar datang berobat jika sakit, suaminya siap membantu.
Satu hal yang mengiris hatinya, setiap pagi ia melihat anak-anak yang lewat ikut orang tuanya bekerja. “Padahal mereka sudah usia sekolah,” kisahnya.
Ia pun mengajak anak-anak itu untuk singgah di pondoknya, sekadar belajar berhitung, membaca, dan bermain. Tentu saja atas seizin orang tua mereka. Ada lima anak yang berhasil dirangkul.
“Dasarnya saya memang mantan guru sekolah minggu, jadi senang bermain dengan anak-anak,” akunya.
Waktu berjalan, jumlah anak-anak bergabung semakin banyak. Timbullah niat mendirikan PAUD. Maka lahirlah Sekolah Anak Kecil Shalom berstatus SPS (Satuan PAUD Sejenis).
Sekalipun hanya sanggup menyediakan tempat belajar di bawah pohon, nyatanya, peminat sekolah dadakan dan gratis ini kian banyak. Felda pun berpikir untuk mengurus perizinan. Prosesnya tidak gampang, butuh waktu hampir dua tahun.
“Dari dinas bilang kalau mau diformalkan mereka harus lihat dulu dua tahun, bertahan atau tidak.”
Setelah memperoleh formalitas, disusul dengan pendirian Yayasan Shalom Center untuk mengakomodir keberadaan PAUD tersebut. Oleh Dinas Pendidikan Kota Jayapura, pihak yayasan juga diminta mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Itu pun dipenuhi.
Suatu ketika, di tahun 2012, seorang teman Felda mengusulkan untuk mendirikan bangunan gereja permanen. Felda mengiyakan. Kepada temannya, seorang kontraktor, Felda meminta tolong dibikinkan desainnya. Sang teman itu menyanggupi dan selang beberapa waktu kemudian ia kembali membawa sebuah gambar rancangan gedung.
Sejenak, Felda hanya bisa terpaku memandangi desain yang kelihatan “wah” itu. Dalam hati, ia berguman, mana mungkin sanggup mewujudkan gedung itu? Ia tahu betul, jemaatnya hanyalah sekumpulan orang-orang sederhana yang tidak punya banyak uang.
Desain itu dipajangnya di dinding depan gereja. “Sampai ada jemaat kami yang tanya, ini mau bangun hotel di mana?” kenang Felda sembari tertawa.
“Ada juga jemaat ada yang bilang, kalau ini jadi, saya siap jadi kostor,” sambungnya mengingat masa itu.
Kata-kata warga jemaat tadi tentu tidak bermaksud mengejek, tapi lebih sebagai ungkapan pesimisme. Kurang lebih sama yang dirasakan Felda.
Hanya berbekal iman dan keyakinan, mereka kemudian membentuk panitia kecil. Modalnya minim, uang sebesar tiga juta rupiah. Uang itu dipakai mencetak 2.000 eksempelar kalender yang tiap helainya memuat gambar perjalanan pelayanan gereja. Rupanya itu cukup efektif menarik simpati banyak pihak. Uluran tangan berdatangan membantu, dari pengiriman, distribusi, hingga penjualan. Hasilnya lumayan, tapi masih terlalu jauh untuk memulai pembangunan.
Usaha panitia berikutnya adalah membuat celengan yang dibawa masing-masing anggota jemaat.
“Ada yang taruh celengan di meja kantornya, satu kali buka bisa 400 sampai 500 ribu rupiah,” kata Felda.
Dalam tempo tidak terlalu lama, terkumpullah dana sebesar 65 juta rupiah. Panitia memutuskan memulai pembangunan, ditandai dengan peletakan batu pertama sekira akhir tahun 2012.
Selama pembangunan berjalan, selama itu pula bantuan terus mengalir dari berbagai penjuru. “Ada yang datang bawa pasir, semen, paku, dan bahan bangunan lain. Ada juga pengusaha yang membolehkan kami mengambil bahan di tokonya, bayarnya belakangan.”
Dalam waktu dua tahun, gedung pun berdiri. Ketika itu, Wali Kota Jayapura Benhur Tomi Mano yang meresmikannya.
“Bagi saya, itu sebuah mujizat besar,” aku Felda mengakhiri kisahnya.
***
Kurun satu dasawarsa, Yayasan Shalom berkembang pesat. Ada empat visi pokoknya; pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan pengembangan SDM (sumber daya manusia).
Fokus utama pada bidang pendidikan. Ada empat layanan yang mereka kelola, yakni; kelompok bermain, taman kanak-kanak, sekolah dasar (Sekolah Anak Hebat Papua), dan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). “Semuanya sudah terakreditasi B,” ujar Felda Lukas.
Ia mendaku, sekalipun yayasannya menganut nilai-nilai kekristenan, namun sekolah terbuka untuk umum, lintas agama.
Di balik upaya mengembangkan persekolahan yang bermutu, Shalom Center punya misi mulia berupa pendampingan PAUD. Programnya bukan hanya menyasar PAUD yang sedang vakum, tetapi juga merintisnya dari nol.
Ujung tombak dari program ini adalah para guru misi yang dibekali kurikulum dengan biaya sepenuhnya dari yayasan. Di tiap sekolah ada guru lokal yang sengaja direkrut untuk dipersiapkan melanjutkan operasional sekolah jika tugas guru misi berakhir.
Yang sudah berjalan semisal di Kampung Enggros dan Kayu Pulo. “Di Kampung Enggros ada PAUD, sudah tiga tahun tidak jalan, jadi saya menghadap kepala kampung. “Pak, saya buka PAUD di sini, ya. Nanti gurunya saya bawa. Pak Kepala Kampung setuju,” beber Felda.
Dari Kota Jayapura, pendampingan bergerak ke Keerom. Ada tiga kampung yang telah dibuka, yaitu Kampung Kwimi, Bate, dan Sach di distrik Waris. Ada 80 anak PAUD di tiga kampung ini.
Di Bate, selain ada PAUD, Shalom Center juga membuka PKBM yang merangkul anak-anak putus sekolah dan belum tahu baca tulis.
“Ada 40 anak, baru-baru ini datang satu truk ke sini untuk ujian.”
Felda berharap, dalam dua tahun, PKBM Bate sudah mandiri sebelum diserahkan kepada pemerintah setempat, sebagaimana PAUD-nya. Selanjutnya yayasan menyasar kampung Ormu di kabupaten Jayapura, yang mana di sana juga belum ada PAUD.
Sampai kapan program ini berjalan? “Shalom Center punya misi mendampingi 100 PAUD di Papua,” jawab Felda.
***
Mengelola persekolahan tidaklah gampang. Salah satunya soal ketersediaan tenaga pengajar. Shalom Center menghadapi tantangan itu. Untung saja, yayasan sudah terkoneksi dengan sebuah lembaga bernama Association of Christian Schools International (ACSI).
ACSI ini yang membantu dalam hal kurikulum, termasuk SDM (sumber daya manusia). Seperti dengan adanya kesepakatan dengan salah satu member ACSI, Universitas Pelita Harapan (UPH), yang menyiapkan delapan tenaga guru.
“Mereka disebut resipro, wajib mengabdi empat tahun sebelum dapat ijazah, mereka dapat beasiswa dari kampusnya,” ungkap Felda Lukas.
Kru Fokus Papua juga berbincang dengan tiga staf pengajarnya di Sekolah Anak Hebat Papua. Yang pertama adalah Syane Wanda. Dara manis ini sebelumnya atas inisiatif pribadi membuka kelompok belajar anak-anak di bilangan DOK IX Kota Jayapura. Suatu ketika ia berkenalan dengan Felda yang kemudian merekrutnya. Syane diplot mendampingi PAUD rintisannya yang telah difasilitasi oleh Shalom Center.
“Saya belum punya pengalaman lebih waktu itu tapi setelah bergabung di sini saya mendapatkan sesuatu yang sangat luar biasa,” ungkap Syane.
Sayangnya, kelompok belajar dampingannya harus terhenti setelah pihak gereja di lokasi yang sama membuka PAUD. Tak mau jadi masalah, Shalom Center memilih mundur. Syane pun ditarik ke kantor pusat. Ia ditempatkan di PKBM.
Ada tiga program di PKBM, yaitu keaksaraan, kesetaraan, dan keahlian. Syane bertugas di bagian keaksaraan.
Selain di kelas, di tempat tugasnya ini, Syane dituntut turun lapangan, door to door, atau ke tempat umum seperti pasar. Ia mengajak dan meyakinkan warga untuk melek aksara.
“Di kota sini (Jayapura), susah kita dapat masyarakat yang mau mengaku tidak bisa baca tulis, padahal sangat banyak,” kata Syane.
Tapi Syane tak kehilangan akal. Misalnya, sama yang beragama Kristen, dia bilang; “Mama harus tahu baca, supaya bisa baca alkitab.”
Kepada yang lain, ia berkata: “Supaya nanti urus bantuan dari pemerintah tidak perlu lewat orang lain, kalau bisa baca tulis bapak/ibu sudah paham.”Menurut Syane, yang berhasil diajak justru kebanyakan mama-mama.
Berikutnya, Elasih Alvenia Yaroseray. Dari latar pendidikan, guru muda yang akrab disapa Miss Nia ini tergolong istimewa. Ia lulus dari Michigan State University, jurusan psikologi (2019).
“Saya menyukai anak-anak, balik ke Jayapura saya punya keinginan jadi guru BK (bimbingan koseling). Kalau bisa di sekolah yang usia 6-12 tahun.”
Harapan Nia ini bak gayung bersambut. Ibunya memperkenalkannya kepada Felda. Kebetulan, ayah Nia adalah mantan dosen Felda di STT Tiranus Bandung.
Di Sekolah Anak Hebat Papua, Nia adalah wali kelas 1 Sekolah Anak Hebat Papua. Selain itu, ia dipercayakan menjadi bendahara yayasan.
“Saya belajar banyak di yayasan ini, terutama ikut program pendampingan PAUD di kampung. Ini pengalaman baru yang tidak saya dapati di bangku kuliah,” katanya bersemangat.
Dari pengalaman ikut pendampingan, Nia banyak belajar mengenali karakter anak. Ia menemukan, kebiasaan anak di satu tempat dengan tempat lainnya ternyata berbeda. Dengan begitu, Nia yang juga bertugas menyusun kurikulum jadi punya banyak referensi.
Menurutnya, tantangan utama sebagai guru anak itu adalah bagaimana membuat mereka mendisiplinkan diri.
Berbeda dengan dua rekannya, guru lainnya, Raymond Ikary sudah punya pengalaman cukup sebagai pengajar sebelum bergabung dengan Shalom Center. Ia adalah mahasiswa resipro dari Universitas Pelita Harapan. Bahkan, ia pernah ditugasi sebagai kepala sekolah Lentera Harapan, milik kampusnya, selama tiga tahun, di Nalca, Yahukimo. Sebelum itu, Raymond bertugas di Mamit, Distrik Kembu, Kabupaten Tolikara.
Raymond mengenal Shalom Center dari Syane Wanda. Ia merasa tertarik dengan pelayanan yayasan ini.
“Kalau dulu saya hanya focus di satu tempat, sekarang saya bersyukur bisa ikut pelayanan di banyak kampung,” tutup pemegang gelar sarjana pendidikan jurusan biologi dari UPH dan Bachelor of Science dari Corban University, Amerika Serikat ini.
***
Selain merekrut tenaga pengajar, tantangan lain yang dihadapi yayasan ini adalah kesiapan finansial demi membiayai operasional yang tidak sedikit nilainya. Untuk hal ini, Felda berani buka-bukaan. Sumber utama mereka berasal sekian persen penghasilan James Timothy sebagai dokter. Itu sudah jadi komitmen James sejak awal yayasan berdiri.
Berikutnya adalah sumbangan dari murid (SPP). SPP ini diakui Felda kontribusinya kecil, mengingat tidak semua siswa diwajibkan membayar.
“Paling mahal 300 ribu rupiah per bulan, itu oleh orang tua yang mampu. Ada juga yang kami gratiskan karena keterbatasan ekonomi mereka,” aku Felda.
Sama halnya dengan SPP, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah juga tergolong kecil kontribusinya.
“Transparansi kita kedepankan, termasuk soal keuangan,” pungkasnya. Tim Fokus Papua