Umbul Ponggok, sebuah desa kecil di Klaten, Jawa Tengah, saat ini tengah mencuri perhatian. Dari desa tertinggal, hanya dikenal sebagai tempat pemandian hewan ternak, Unggul Ponggok kini menjelma menjadi desa yang menginspirasi, terutama karena perkembangan pariwisatanya. Tak hanya dalam negeri Umbul Ponggok juga tersohor ke mancanegara.
Selain tersebar di sosial media, kisah sukses Umbul Ponggok ini dibagikan langsung oleh Suyantoko, Manager Marketing BUMDes (Badan usaha milik desa-red) Tirta Mandiri.
Suyantoko hadir dalam acara Desiminasi Laporan Perekonomian Papua dan Kajian Tematik Pariwisata yang difasilitasi oleh Bank Indonesia Perwakilan Papua, Rabu (30/7/24) di Jayapura. Kegiatan ini dihadiri oleh Kepala BI Papua dan sejumlah stakeholder teknis lainnya termasuk Deputi Investasi Kemenparekraf dan dosen dari Pusat Studi Pariwisata UGM.
“Dulu, Ponggok itu desa paling miskin di kecamatannya,” ungkap Suyantoko.
Sebelum dikembangkan menjadi destinasi wisata, pendapatan desa Ponggok sangat terbatas. Namun, berkat pengelolaan yang baik dan inovasi yang terus menerus, pendapatan dari Umbul Ponggok kini mencapai Rp 16 miliar per tahun.
Peningkatan pendapatan desa ini tidak hanya digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Apa yang membuat Umbul Ponggok begitu istimewa? Kuncinya terletak pada pengelolaan yang baik dan partisipasi aktif masyarakat. Desa ini berhasil mengubah potensi alam yang ada menjadi aset yang menguntungkan.
“Kami tidak hanya mengandalkan keindahan alam, tapi juga menciptakan berbagai aktivitas menarik bagi pengunjung,” kata Suyantoko lagi.
Menikmati sensasi snorkeling, diving, hingga foto underwater, semua bisa dilakukan di Umbul Ponggok.
Bumdes Tirta Mandiri tidak hanya fokus pada pembangunan fisik, tetapi juga sumber daya manusia. Desa ini memiliki program beasiswa Satu Rumah, Satu Sarjana yang dirancang untuk mencetak generasi muda yang berkualitas.
Para penerima beasiswa dituntut berperan aktif dalam mempromosikan desa. Mereka menjadi agen perubahan yang akan membawa Ponggok ke level yang lebih tinggi.
Pada intinya para pelajar ini wajib memerankan diri sebagai ‘marketing’ desa.
Nah, selain bekal ilmu pengetahuan, para pelajar juga memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi influencer lokal. Dengan begitu, mereka dapat membantu meningkatkan kunjungan wisatawan ke Ponggok yang muaranya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Suyantoko menekankan pentingnya komitmen, perencanaan, dan peran serta masyarakat dalam mengelola pariwisata.
“Komitmen untuk maju bersama adalah hal yang paling penting,” tegas Suyantoko.
“Jangan lupakan peran serta masyarakat. Mereka adalah ujung tombak dalam mempromosikan destinasi wisata,” tambahnya.
Ia juga berpesan kepada masyarakat Papua. “Jangan takut untuk bermimpi besar”. Dengan kerja sama dan inovasi, kita bisa mengubah desa kita menjadi destinasi wisata yang menarik.”
Bagi Bank Indonesia, dengan kekayaan alamnya yang luar biasa, Papua memiliki potensi yang sangat besar untuk menyusul cerita sukses Umbul Ponggok. Itu pula alasan pihak bank sentral ini mengajak pengelola desa Umbul Ponggok untuk berbagi pengalaman.
“Papua punya banyak sekali potensi wisata yang belum tergarap,” kata Kepala perwakilan Bank Indonesia Papua Faturachman.
Tentu saja, mengembangkan sektor pariwisata bukanlah hal yang mudah. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi, seperti infrastruktur yang belum memadai dan kurangnya sumber daya manusia yang terlatih. Namun, kata Faturachman, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang yang sangat besar.
Dengan pengelolaan yang baik, pariwisata bisa menjadi motor penggerak ekonomi Papua. Sektor ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah.
Mama Nela, sapaan akrab Petronela Merauje, Ketua Pokdarwis Kampung Enggros yang pernah mendatangi Umbul Ponggok mengaku sangat terinspirasi dengan kemajuan desa itu.
Ia melihat potensi pariwisata di kampungnya seharusnya tidak kalah dengan Umbul Ponggok.
“Saya masih ingat betul keramaian di sekitar balai desa Umbul Ponggok, di mana warga berjualan jajanan dan kerajinan tangan dengan penuh semangat,” kenang Mama Nela.
Pandangan mata Mama Nela membuka optimisme bagi dirinya jika pariwisata dapat menjadi sumber perbaikan ekonomi masyarakat.
Kembali ke Papua, Mama Nela bertekat untuk melibatkan masyarakat adat, khususnya perempuan, dalam mengembangkan pariwisata. Ia memiliki visi untuk menjadikan hutan perempuan sebagai ikon kampung Enggros dan pusat kegiatan wisata berbasis masyarakat. (Ai)