SENTANI, FP.COM – World Wide Fund for Nature (WWF) Papua bersama Sanggar Seni Robongholo melakukan penanaman sagu, dipusatkan di dusun sagu Kampung Sereh distrik Sentani, Kamis, 14/3/24.
Kegiatan tersebut melibatkan banyak pihak, seperti Pemerintah Provinsi Papua, Kabupaten Jayapura, lembaga swadaya masyarakat, komunitas peduli lingkungan, masyarakat adat setempat serta sejumlah volunteer muda yang tergabung dalam misi penyelamatan cagar alam Cycloop dan restorasi sagu.
Penanaman sagu ini juga sebagai peringatan 5 tahun peristiwa banjir bandang di Sentani dan Hari Air sedunia.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua Jan Jap Ormuseray didaulat membuka kegiatan tersebut dan dilanjutkan dengan penanaman di atas lahan 1 hektar dari total luasan 5 hektar dusun sagu kampung Sereh. Ormuseray pun menaruh penghargaan yang tinggi bagi WWF dan Sanggar Robongholo.
“Kami Pemerintah Provinsi prinsipnya mendukung apa yang dilakukan hari ini, semoga ke depan kita dapat membina kelompok yang ada di sini. Momentum hari ini sangat baik mengajak kita merefleksi kembali betapa pentingnya kita menjaga alam dengan baik supaya alam juga bisa jaga kita. Ini upaya kita bersama untuk mencegah bencana datang lagi dan menyiapkan kehidupan di masa yang akan datang dengan penanaman sagu hari ini,” ujar Ormuseray.
Ketua sanggar seni Robongholo Jimmy Ondikeleuw mengaku, pihaknya menyiapkan sekitar 100 bibit anakan pohon sagu untuk tahap pertama dari program restorasi sagu tersebut.
“Hari ini, dalam semangat restorasi sagu kita rencana 500 bibit yang akan kita penuhi di lahan 5 hektar ini. Tapi itu akan bertahap, jadi hari ini kita siapakan 100 bibit anakan sagu untuk lahan 1 hektar,” sebut Jimmy.
Bibit-bibit sagu tersebut didapat Jimmy dan komunitasnya dari penjarangan sagu di sekitar dusun. Memiliki 6 jenis sagu dari total 35 jenis sagu di Sentani, menurut Jimmy untuk tahap pertama ini terdapat 3 jenis bibit sagu yang ditanam dengan 2 jenis yang menonjol seperti sagu tidak berduri (sagu Yebha) dan sagu Phara (sagu berduri).
“Kenapa dua jenis ini, karena potensi untuk hidup atau tumbuh itu besar ke depannya dibandingkan 4 jenis sagu lainnya di dusun ini, yang cenderung harus mendapat perlakuan khusus,” ungkapnya.
Untuk meningkatkan produktivitas lahan sagu, mengurangi risiko usaha produksi sagu, serta menjamin kelangsungan pendapatan, Jimmy mengaku pihaknya pun mulai mengenalkan masyarakat dengan metode budidaya tumpang sari mengingat 1 tanaman sagu memerlukan waktu 20 tahun untuk bisa dipanen.
“Ada sekitar 50 tanaman buah seperti matoa, dan lainnya yang kami siapkan juga untuk ditanam hari ini. Jadi kalau jarak tanam 1 pohon sagu itu 10 meter maka buah-buah ini kita tanam di tengahnya sehingga untuk jangka pendek 3-5 tahun kita panen karena umur sagu ini kan 20 tahun baru bisa dipanen maka di antara range itu ada produksi lain yang dikelola masyarakat,” jelasnya.
Act Head of Forest and Wildlife Program for Papua, Wika Rumbiak, kepada awak Fokus Papua menjelaskan, WWF ke depannya akan terus mendorong aksi mitigasi tidak hanya dalam momentum peringatan semata melainkan terus menggalakkan partisipasi semua pihak utamanya masyarakat agar tercipta kesadaran dan kepedulian menjaga lingkungan di tengah perubahan iklim yang terus terjadi.
“Kami berharap karena ini kerja kolaborasi maka ada komunitas, pemerintah daerah, LSM, perguruan tinggi dan kita mau ada penanaman terus, jadi tidak hanya pada momen-momen seperti ini saja. Akhirnya mitigasi terhadap bencana jalan, perlindungan terhadap air juga ada, untuk konteks pangan lokal kalau kita bicara sagu tetap terjaga.”
“Kami senang sekali pemerintah daearah berkomitmen terbuka untuk semua pihak jadi bukan hanya kerja sama dengan WWF tapi juga kerja sama dengan kelompok Robongholo, pemerintah kampung di sini dan komunitas yang ada di kampung Sereh. Saya pikir ini baru satu spot, kita berharap pemerintah provinsi bisa mendukung spot yang lain, jadi kita replikasi,” pungkas Wika. (*)